Saturday 7 May 2016

Secangkir Kopi

Rintik hujan terlihat mereda di seberang jalan sana. Cahaya keemasan pun tampak tersenyum menyambut hari menjelang petang. Seorang anak kecil berkerudung putih terlihat berjalan agak cepat di depan trotoar. Kemudian berhenti di depan sebuah dinding kaca raksasa. Toko roti. Ia mengamati replika cake yang menggiurkan. Perlahan tangan kirinya merogoh saku gamisnya seiring mata memastikan label harga. Di lihatnya uang dalam genggaman. Bibirnya mengerucut. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia pun bersedih. Berlalu dan melangkah tanpa tujuan.
***

Pagi ini, aku tidak melihat anak itu kembali berdiri di depan toko yang sama. Melainkan seorang gadis cantik yang anggun perawakannya. Wajahnya bersih merona. Akan tetapi raut itu masih sama dengan mimik gadis kecil waktu itu. Gelisah dan pasrah. Bukan karena tidak mampu membayar. Tetapi, apakah waktunya terkejar. Entah ada apa lagi yang tersirat di dalam benaknya, aku tidak tahu. Bukan aku tidak mau tahu. Tapi apa urusannya denganku?
***

Siang ini, aku duduk di sudut ruangan sebuah kedai kopi. Menikmati sisa waktu sepulang kerja. Sendiri. Seperti biasa.
Tanpa sengaja, aku melihat gadis itu kembali berdiri di depan toko yang sama. Mengamati replika baru yang lebih menggoda. Dan perlahan berubah wajahnya tampak merona. Apakah dia mau membelinya? Sepertinya, ya.

''Mau pesen yang mana....?'' agaknya itu yang di ucapkan karyawan padanya.

''Yang itu aja, mbak. Sore nanti, bisa saya ambil?''

''Bisa. Berapa banyak?''

''Satu aja, Mbak. Usahakan di buat spesial yah, soalnya ini untuk ulang tahunnya temen saya...''

''Boleh. Untukmu akan kami buat spesial...''

''Makasih ya, Mbak...''

''Kembali.''
***

Sore pun datang. Mataku memang tidak melihat. Tapi telingaku cukup jeli untuk sekedar mendengar setiap ucapan mereka. Meski terkadang aku harus memasang pendengaran baik-baik untuk mendengar lebih jelas lagi perbincangan mereka. Setidaknya, aku sekarang memang sedang menguping keduanya.

Mereka itu masih SMA rupanya. Nadia sengaja mengajak Rima hang out di kedai ini. Tanpa peduli dengan tatapan setiap pengunjung yang melihatnya. Mereka lepas dalam canda tawa. Peduli apa? Dan mereka duduk tak jauh dari kursiku. Aku sama dengan pengunjung lainnya. Sama sekali di anggap tidak ada. Ada rasa ingin tahu sebenarnya, tentang apa yang sedang di bahas mereka. Jujur, aku penasaran. Lebih dari dua puluh menit aku memasang telinga.

Alisku pun bertautan ketika mendengar pengakuan Nadia. Selain sore ini Rima berulang tahun yang ke 17, ternyata ini juga moment Aniversary di hari jadian mereka yang ke 5. Lima bulan maksudnya. Sejenak aku berdecak. Cinta monyet di antara mereka sempat membuatku miris. Mengingatkan aku denganya. Wanita terindah yang dulu pernah aku mencintainya, selamanya.

Dulu aku juga mengalaminya. Dan sekarang, aku malah belum bisa mendaptkan pengganti yang baru. Ada rasa kecewa dan iri melihat Nadia dan Rima. Mereka sempurna fisik dan rupa. Cantik dan terkesan dewasa. Seketika aku merindukan dia. Air mata ini pun pecah akhirnya. Sesekali aku mengadah ke atas untuk membendung dan menahan sedih.

Di temani secangkir kopi. Mataku tak lepas dari memperhatikan dua gadis remaja itu. Sesekali, gadis berjilbab putih bernama Nadia itu tersenyum padaku, aku membalas senyumnya.

Dia cantik. Semampai. Modis dan sekali lagi terkesan dewasa. Sama seperti adikku, Maya. Ku nikmati seteguk kopi luwak penenang jiwa. Peremaja luka.

Di sini. Di sudut kedai kopi ini. Aku melihat dua cinta insan manusia yang meregang kesedihan. Pahit kopi terasa bukan hanya di lidah Nadia, tetapi juga di hatinya. Selamanya.
***

Rima tewas di tempat ketika menyebrang jalan saat melintas hendak membeli mawar. Nadia meraung di tengah keramaian di tengah-tengah gerimis hujan. Aku pun menangis karenanya. Tak sanggup mengingat kejadian waktu itu. Saat-saat di mana aku harus kehilangannya. Selamanya.
Tetes air mata ini mengalir. Hatiku erasa di sayat sembilu. Sepi dan pilu. Tak akan hilang rasa perih ini.

''Maaf, sedang lihat apa, Mbak?''
Tukas seorang pramusaji padaku.
Sontak aku terkejut karenanya.

''Nggg, anu Mbak. Nggak lagi lihat apa-apa...'' lirihku.

''Kopinya mau di tambah, Mbak?''

''Ehh, i-iya, boleh...''





Namaku Nadia. Dan selamanya, aku akan tetap mencintainya. Meski waktu dan ruang telah memisahkan aku dengan dia. Tetapi tidak akan berubah rasa cintaku padanya. Selamanya.
Enam tahun telah berlalu. Aku masih mencintaimu. Rima Astuti.


=============
#Spesial For My Friend. Any Where


Sumber
comments

No comments: